Friday, June 24, 2011

Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Saat Berdoa?

Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Saat Berdoa?

Salah satu ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah (hal.61), beliau mengatakan,”Jika ada yang mengatakan,’kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa?’”


Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jawaban Imam At Thurthusi (529 H), ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din (5/34,35). Dalam jawaban itu, At Thurthusi memberikan dua jawaban:
Pertama: Hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan-akan langit merupakan kiblat saat berdoa.
Kedua : Karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit.
Jawaban At Thurtusi di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Ibnu Qurai’ah (367 H), saat ditanya oleh Al Wazir Al Muhallabi (352 H), seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan,“Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia (Allah Ta’ala)?
Ibnu Qurai’ah menjawab,”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat-tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening-kening kami ke tempat berakhirnya jasad-jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang ke dua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala (yang maknanya),”Dan di langit rizki kalian dan apa-apa yang dijanjikan.” (Ad Dzariayat: 22). Dan Allah Ta’ala berfirman (yang maknya),”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” (Thaha: 55).
_______________________
Dinukil dari Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cet 2 (2004) dengan tahqiq Syeikh Al Muhaddits Abdu Al Fattah Abu Ghuddah.

Mengusap Wajah Setelah Berdoa Menurut Fuqaha



Masalah mengusap wajah setelah berdoa menurut para fuqaha madzhab 4, sebagai berikut:
Hanafi :D alam Hasyiyah As Syurunbulali ‘ala Durar Al Hikam, dalam bab Shifat Shalat, dalam masalah dzikir sunnah setelah shalat, beliau mengatakan:”Dan disunnahkan bagi mereka yang shalat melakukan hal itu (dzikir sunnah), lalu ditutup dengan “subhana rabaka…” (ayat),karena Ali radhiyallahuanhu mengatakan:”Barang siapa ingin ditimbang amalnnya dengan timbangan yang berat di hari kiamat, maka hendaklah setiap akhir perkataannya, jika ia hendak berdiri dari majelisnya,”subhana rabbaka…”. Lalu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. ( Hasyiyah As Syurunbulali ‘ala Durar Al Hikam, 1/80)
Maliki:An Nafrawi dalam Al Fawaqih Ad Dawani mengatakan:”Dan disunnahkan untuk mengusap kedua telapak tangan ke wajah setelahnya (doa), sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”. ( Al Fawaqih Ad Dawani, 2/335)
Syafi’i:Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarh Muhadzab menyatakan:”Dan dari adab berdoa adalah memilih tempat, waktu serta keadaan yang mulya. menghadap kiblat, mengangkat tangan, serta mengusap wajah dengan tangan ketika selesai…” ( Al Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/487).
Imam An Nawawi menyatakan bahwa amalan itu sunnah, ini juga dinukil oleh Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari, serta Khatib As Syarbini (Lihat, Atsa Al Mathalib, 1/160, juga Mughni Al Muhtaj, 1/370)
Hanbali:Al Allamah Al Bahuti:”Kemudian mengusapkan tangan wajah di saat ini (yaitu setelah qunut), dan di luar shalat (yaitu ketika berdoa). (Kalimat dalam kurung adalah keterangan Al Bahuti, lihat, Syarh Al Muntaha Al Iradat, 1/241, Al Inshaf, 2/173, Kasyaf Al Qana, 1/420)
Demikian, sejumlah ulama menyatakan disyari’atkannya mengusap wajah setelah berdoa. Adapun pernyataan Izzuddin bin Abdissalam,”mengusap wajah dengan dua tangan adalah bid’ah dalam doa dan tidak ada yang melakukan kecuali jahil”, telah dijawab oleh Imam Az Zarkasyi:”ini dikarenakana beliau belum mengatahui hadits-hadits itu, walau sanad-sanadnya layin, akan tetapi, perkumpulannya menguatkan periwayatannya (dari manuskrip Al Azhiya fi Al Ad’iyah, sesuai yang dinukil Syeikh Bakar Abu Zaid). Allahu’alam bishawab
(Diambil dari Fatwa Dar Al Ifta Al Mishriyah)

Dalil Mengusap Wajah Setelah Berdoa



Hadits Mengusap Wajah yang Derajatnya Hasan, Menguatkan Hadits Lain
Hadits1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berakata: Rasulullah shalallahu alaihu wa salam telah bersabda: “Jika engkau berdoa kepada Allah meka berdoalah dengan telapak tangan, dan jangan berdoa dengan punggung tangan. Jika telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”.
Al Hafidz Al Bushairi dalam Zawaid Ibnu Majah (1/390) menyatakan bahwa hadits ini sejatinya dhoif, karena ada perowi yang bernama Sholih bin Hasan, akan tetapi ada syahid dari hadits Ibnu Umar.
Ini isyarat, bahwa hadits ini hasan. Sehingga Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menghasankan hadits ini, beliau berakata,”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204)
Adapun Shalih bin Hasan tidak sendirian, beliau memiliki mutabik yaitu Isa bin Maimun. Mutab’ah ini dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahweh dalam Musnadnya (dalam Nashbu Ar Rayah 3/52), juga Al Maruzi dalam Qiyam Al Lail (141).
Sedangkan syawahidnya adalah Hadits As Saib bin Kholad dan anaknya, Umar dan anaknya Abdullah, serta mursal Zuhri.
Hadits As Saib bin Kholad atau anaknya diriwayatkan dalam Musnad Ahmad (4/221), Abu Dawud (1492) dan Thabrani dalam Al Kabir (22/241,242)
Hadits 2. Dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya:”Bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika setelah selesai berdoa mengusap wajah dengan tangannya”.
Dalam hadits ini ada Hafsh bin Hashim yang majhul, juga ada Ibnu Luhai’ah yang terkenal dhoif. Akan tetapi hadits ini hasan karena beberapa sebab.
Hafsh bin Hashim memiliki penguat (mutabik), dan ini termasuk hadits Ibnu Luhai’ah yang shahih, berikut penjelasannya:
1. Hafsh bin Hashim bin Utbah, memang tidak diketahui, sehingga Ibnu Hajar dalam Tahdzib (2/420-421) menyatakan bahwa sebetulnya yang menempati posisi Hafsh adalah Habban bin Washi’. Beliau menilai bahwa Ibnu Luhai’ah yang salah menyebut nama dalam hal ini. Itu dikarenakan, dalam kitab-kitab sejarah tidak pernah disebutkan ada orang yang bernama Hafsh bin Hashim, juga tidak ada yang menyebutkan bahwa Bin Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh. Adapun Habban bin Wasik memang jelas-jelas menjadi syeikhnya Ibnu Luhai’ah dalam hadits ini dan dia tidak bermasalah karena termasuk rijal Muslim. Nah jika ini diterima, maka sudah tidak ada masalah dengan Hafsh, karena digantikan dengan Habban bin Washi’ yang termasuk rijal Muslim. Jika tidak diterima maka tetap ada perowi yang majhul, tapi posisi Habban menjadi sebagai mutabik atas Hafsh, sehingga tidak ada masalah juga.
2. Ibnu Luhai’ah: Hadits Qutaibah Bin Sa’id yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Dalam Tahdzib Kamal (23/494), Imam Ahmad berkata kepada Qutaibah,”hadits-haditsmu yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Hal ini dikarenakan Qutaibah menulisnya dari buku Abdullah bin Wahab dan mendengarkannya dari Ibnu Luhai’ah. Dan hadits di atas termasuk hadits Qutaibah yang berasal dari Ibnu Luhai’ah. Dari sinilah hadits ini dinailai hasan.
Hadits 3. Dari Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika mengangkat kedua tangnnya untuk berdoa, maka beliau tidak menariknya, hingga mengusap dengannya wajahnya.
Dikeluarkan oleh Tirmdzi (3386), Al Hakim (1/536), AT Thabrani dalam Ad Du’a’(212,213)Abnu Al Jauzi dalam ‘Ilal (1406)dan Abdul Ghani bin Sa’id Al Azdi dalam Idhah Al Isykal dan As Silafi dalam Mu’jam As Safar (41).
At Tirmidzi berkata : ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Sedangkan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/253,254) menyatakan bahwa tidak boleh berhujjah dengannya (Hammad). Tentu, tidak boleh berhujah tidak menghalangi untuk mengambilnya sebagai syahid atau berhujjah sebagai mutaba’ah.
Sedangkan Abu Bakar Al Bazar (1/243) menyatakan: Dia layin hadits, dan haditsnya yang dhoif adalah hadits ini. Sedangkan Ibnu Ma’in mengatakan: Syeikh Shalih. Dzahabi dalam Mizan (1/598 ) dia dhoif menurut Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni, dan tidak meninggalkannya. Hafidz dalam At Taqrib (1503) menyatakan: “Dhoif”. Iraqi dalam Tahrij Ihya’ (1/350) juga mendhoifkan saja, juga Nawawi dalam Al Adzkar. Dan Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi memasukannya dalam An Nashihah fi Al Ad’iyah As Shahihah (14).
Dari paparan di atas, maka hadits tidak mutlak ditinggalkan, akan tetapi masih bisa diambil sebagai syahid, dan ini juga pendapat Hafidz Ibnu Hajar, hingga beliau menyatakan bahwa ”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204).
Dalil Hadist Mursal
Mursal Az Zuhri, yang dikeluarkan oleh Abdu Ar Razak dalam Mushanaf (2/247). Dari Ma’mar dari Az Zuhri, ia mengatakan:”Rasulullah shalallhua laihi wa salam mengangkat kedua tangannya di dada dalam doa, kemudian mengusapkan keduanya di wajah. Abdurrazak mengatakan,”Sepertinya aku melihat Ma’mar melakukannya, dan aku melakukan hal itu juga.
Ini adalah mursal yang shahih isnadnya, dan hujjah walau berdiri sendiri menurut jumhur, seperti Ibnu Musayyab, Malik, Abu Hanifah dan dalam riwayat termashur Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam ushul. Adapun Syafi’i tidak menerima mursal kecuali dengan didukung salah satu lima hal, yang juga ma’ruf dalam ilmu ushul. Dan mursal ini termasuk mursal yang memenuhi syarat Syafi’i, karena didukung oleh atsar sahabat.
Atsar: Beberapa Sahabat Rasulullah dan Tabi’in Mengusap Wajah Setelah Berdoa
Berberapa atsar tentang masalah ini adalah atsar dengan sanad jayid yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad (609) Dari Abu Naim ia berkata:” Aku telah melihat Umar dan Ibnu Zubair berdoa dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Juga atsar yang diriwayatkan oleh Abdu Ar Razak dalam Al Mushanaf (3256) bahwa Ibnu Juraij dan Yahya bin Sa’id menyatakan bahwa orang-orang sebelum mereka mengusap wajah setelah berdoa.
Jelas, maka orang-orang sebelum Ibnu Juraij dan Yahya adalah para sahabat dan kibar tabi’in.
Sedangkan Al Marwazi menyebutkan dalam Qiyam Al Lail (236) tentang atsar dari Al Hasan Al Bashri, Abu Ka’ab Al Bashri serta Ishaq bin Rahweh dalam masalah ini. Tentang Atsar Al Hasan Al Bashri, Imam As Suyuthi menyatakan dalam Fadh Al Wi’a’ (101): “Isnadnya hasan”.
Dari sini, maka apa yang dikatakan Hafidz Ibnu Hajar, Hafidz Al Bushoiri dan Al Munawi bahwa hadits ini hasan sangat beralasan. Allahu’alam
(Diambil dari At Ta’rif (4/504-515), Cet.2, Dar Buhuts wa Ihya Turats Emirat)

dipetik dari http://almanar

No comments:

Post a Comment